Jumat, 05 November 2010

Tim GKI di Serui dan Wasior

Wasior Banjir.....

Sebagai ibukota Kabupaten Teluk Wondama yang tengah berkembang, kota kecil Wasior sesungguhnya berperan besar dan menyimpan sejarah penting dalam penyebaran Injil di bumi Cendrawasih. Di sini Bapak Peradaban Papua Pdt. Izaac Samuel Kijne membangun sekolah zending dan meletakkan Batu Peradaban. Akankah banjir badang mengoyakkan iman mereka?

Kabut duka tengah menggayut di Papua. Setelah gempa bumi di Kabupaten Yapen dan Waropen pada 16 Juni 2010, gempa berkekuatan 7,4 skala Richter kembali megguncang Kaimana pada 30 September 2010. Hanya selang 4 hari, banjir bandang menerjang Wasior, ibukota Teluk Wondama. Banjir yang membuat sejumlah kampung luluh lantak ini bersamaan dengan wafatnya Pdt. Wim Rumsarwir, mantan ketua Sinode GKI di Tanah Papua.

Batu Peradaban

Nama Wasior mulai dikenal luas ketika Pdt. Izaac Samuel Kijne mendirikan Sekolah Zending di Wondama pada 1925. Ia pindah dari Marsiman, tempat Injil masuk pertama kali di Papua pada 5 Februari 1855. Tahun 1857 Ottow dan Geissler membuka sekolah untuk mengajar anak-anak dan orang dewasa Papua tentang Injil dan etika hidup sebagai orang Kristen. Pusatnya di rumah zending dan gereja.

Salah satu yang paling dikenal di Wondama adalah Batu Peradaban yang diletakkan oleh Pdt. I.S. Kijne dengan pesannya: "Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, 25 Oktober 1925). Pesan religius Kijne selaku Bapak Peradaban orang Papua ini memiliki makna bahwa orang Papua akan tampil sebagai pemimpin di atas tanahnya sendiri. Selain Batu Peradaban, di Miei juga ada Batu Inspirasi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kalau orang naik ke atas batu dan melihat alam indah di Wondama, dari situ muncul berbagai inspirasi untuk melakukan perubahan baru.

Setelah banjir, David Wompere sempat naik sampai ke batu peradaban. “Saya tulis di sana tentang nyanyian sunyi yang dinyanyikan untuk memberikan sebuah inspirasi baru yang menyatakan bahwa kasih Tuhan selalu ada di tempat itu. Saya akui bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak di daerah itu, sebab itu fondasi berdasarkan kesaksian dari beberapa misionaris yang sudah menjadi sebuah sejarah sampai hari ini,” tutur David yang berada di kamp pengungsi Manokwari.

Batu Penjuru

Banjir bandang yang menewaskan lebih dari 150 jiwa dan ratusan lainnya hilang, serta ribuan orang kehilangan tempat tinggal menyisakan kegamangan. Akankah mereka dapat kembali ke Wasior? Beribu tanya dari ribuan pengungsi memang tidak bisa dijawab dalam waktu dekat. Banjir Wasior memang mengoyakkan iman dan menghanyutkan hampir segalanya. Tetapi, satu hal yang tak boleh hilang adalah pengharapan. Dan, untuk itulah kita perlu kembali kepada sumber pengharapan kita, Kristus sebagai batu penjuru.

Melayani yang terlayani

Untuk mencapai lokasi bencana di Wasior butuh perjuangan panjang. Kabar banjir bandang diterima Tim GKI ketika kembali dari pelayanan kesehatan di Urato, Waropen Timur (4/10). Setelah Tim GKI dapat berkomunikasi dengan Pimpinan di Jakarta via telepon selular maka Tim memutuskan untuk memberangkatkan Tim Evakuasi untuk bergabung dengan Tim lokal pada 5 Okt 2010, sementara karena kebutuhan untuk melayani warga di beberapa kampung di Waropen yang minim pelayanan dari tenaga medis (hanya ada 1 dokter PNS untuk satu kabupaten Waropen), disertai cuaca yang tidak bersahabat, Tim GKI bidang kesehatan baru bisa meninggalkan Waropen hari Kamis pagi menuju Serui. Rencananya, Tim ke Nabire lewat udara untuk melayani pengungsi di sana. Tapi, penerbangan yang sudah dijadwalkan batal terbang karena cuaca. Akhirnya, Sabtu malam Tim GKI dapat berangkat dengan menumpang KM Nggapulu. Setelah menempuh pelayaran 6 jam, Minggu pukul 05.00 WIT kapal tiba di Nabire. Dengan beberapa pertimbangan, Tim GKI memutuskan untuk melanjutkan ke Wasior dengan menambah perbekalan di Nabire. Dalam perjalanan menuju Wasior Tim melakukan pelayanan kesehatan pada korban yang ingin kembali ke Wasior walau kesehatan mereka sedikit terganggu.

Minggu siang sekitar Pukul 15.00 WIT, 10 Oktober 2010, ribuan warga memadati dermaga pelabuhan Kuri Pasai, Wasior sementara menunggu Kapal Motor (KM) Nggapulu merapat. Hujan rintik yang terus menitik tak membuat mereka beranjak. Dari kejauhan tampak arus pengungsi terus mengalir dengan latar puing-puing rumah dan balok-balok kayu yang berserakan.

Sambil menunggu kapal merapat, dari lambung kiri dek 6 KM Nggapulu Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia (TGKI) melakukan koordinasi dan Pembagian tugas. Hasil koordinasi terjadi kesepakatan Nelles, Irwan, dr. Johanes, dr. Martin dan dr. Welly lihat situasi di lapangan. Bu Ade dan Bu Ratna kumpulkan data. Sugianto, Pdt. Resly, Pdt. Chris dan Pdt. Oropa ke posko GKI”. Setelah kapal sandar di Wasior, tim segera bergerak menghimpun informasi dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan. Mengunjungi Posko GKI Tanah Papua dan menemui Ketua Sinode GKI Tanah Papua Pdt. Jemima Krey, S.Th. dan Sekretaris Dept. Diakonia Pdt. Simon Wospakrik.

Melihat situasi yang ada yaitu sebagian besar warga telah mengungsi, tidak banyak yang bisa dilakukan di Wasior. Sementara, ribuan pengungsi yang dievakuasi mengunakan KM Nggapulu dalam kondisi yang memprihatinkan dan butuh perawatan. Akhirnya, tim memutuskan untuk melakukan pelayanan kesehatan diatas KM Nggapulu. Atas izin Nahkoda maka Tim melakukan Pelayanan Kesehatan dengan menyusuri tiap dek yang di huni para pengungsi. TGKI memulai pelayanan dari dek 6 hingga dek 4 sebagai tempat pengungsi Wasior. Selain itu ada beberapa pasien yang membutuhkan tindakan medis lebih lanjut maka TGKI meminjam poliklinik kapal yang berada dek 7 untuk melakukannya.

Pengungsi

Sekitar Pukul. 23.30 WIT, kapal sandar di pelabuhan Manokwari seluruh TGKI bidang kesehatan turun bersama para pengungsi. Setelah kurang lebih 3 Jam TGKI mencari tempat untuk beristirahat maka TGKI mendapat tempat untuk sejenak beristirahat.

Pagi baru 11 Okt 2010 kembali membangunkan semangat TGKI untuk menjumpai para pengungsi yang ada di Manokwari. Setelah berkoordinasi dengan Dan SATGAS Kopassus yang kebetulan kawan SMA salah satu relawan TGKI dan seorang pengusaha yang juga kawan salah satu relawan ketika pengusaha ini ada di Jakarta maka TGKI melawat pengungsi yang ditampung dilapangan Kodim kota Manokwari. Ketika TGKI ke penampungan pengungsi ternyata pelayanan kesehatan sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari. Setelah berbincang dengan petugas dari Dinas Kesehatan maka Tim GKI diminta untuk membagi kelambu dan bercakap-cakap dengan para pengungsi. Karena menurut petugas kesehatan yang kebanyakan bukan warga gereja sementara pengungsi sebagian besar adalah warga Gereja maka mereka agak sedikit terkendala komunikasi. Dalam pembagian kelambu dan percakapan dengan pengungsi mendapatkan banyak hal kisah yang menyedihkan. Kegiatan pelawatan ini seharusnya dilakukan oleh Gereja lokal secara rutin karena hidup di pengungsian bagaikan hidup dalam ketiadaan pengharapan. Mereka sangat memerlukan trauma healing.

Pelayanan Tim GKI yang berikut

Batas tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah sampai 1 Nov 2010 dan hal ini tidak menutup kemungkinan akan di perpanjang mengingat saat ini (17 Okt 2010) air kembali mengenangi Wasior.

Tidak ada komentar: