Selasa, 30 November 2010

GKI Humanitarian Volunteer's Meeting

Update Tim GKI 29-30 November 2010

Kunjungan Kerja Ketua Gerakan Kemanusiaan Indonesia,
Jumpa Relawan Tim GKI Jogja

29 November 2010 pimpinan Gerakan Kemanusiaan Indonesia, Pdt. Kuntadi Sumadikarya, mengunjungi para relawan Tim GKI Jogja yang berjumlah lebih dari 200 relawan di GKI Gejayan.

30 November 2010 kunjungan dilanjutkan dengan mengunjungi Posko-posko Tim GKI Jogja di Adisucipto dan Cangkringan.

Relawan yang Saya Sayangi

Berkumpul di tengah relawan selalu menyenangkan. Entah itu di daerah bencana maupun di markas. Saya selalu melihat wajah relawan yang penuh canda dan tawa, pertanda sukacita. Hal itu terjadi bukan saja pada para relawan yang masih muda, tetapi juga pada relawan ibu-ibu yang sudah lebih berumur. Tampaknya benar “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” (Kis. 20:35) atau ucapan Franciscus Asisi, “Dengan memberi, kita menerima.” Malam 29/11/10 itu berkumpul lebih dari seratus lima puluh relawan, selebihnya bertugas dan berhalangan. Kunjungan saya adalah untuk menyampaikan bagi setiap relawan selembar piagam penghargaan atas kerelaan dan jerih payah mereka melayani para pengungsi, dengan spirit yang terbit dari dalam hati. Saya melihat wajah mereka senang. Memangnya siapa yang tidak senang jika dihargai dan diakui? Semua manusia begitu, relawan juga begitu. Namun saya tahu mereka tidak pernah mengharapkan piagam ini. Mereka bahkan tidak tahu kalau pimpinan Tim GKI merencanakan hal ini. Itu sebab kedatangan dari Jakarta ke Jogja menjadi berharga buat saya juga. Mereka terbagi atas kelompok-kelompok: 1) Logistik dan Transportasi, 2) Pelayanan Anak dan Ibu, 3) Medis, 4) Dapur Umum, 5) Pengelolaan Posko-posko Tim GKI Jogja, dan 6) Pengelolaan Posko Adisucipto. Seperti biasa, GKI Gejayan dikenal sebagai jemaat multi-etnik. Jadi saya tidak heran menjumpai wajah-wajah Batak, Nias, Jawa, Timor, Tionghoa dll. Mereka juga didukung oleh tim doa di gereja, sehingga mereka yakini perlindungan Tuhan dalam melayani di tempat-tempat yang mungkin berbahaya.

Berbagi Apa yang Ada di Hati Saya

Saya diberi kesempatan untuk sharing reflektif. Pdt. Paulus Lie pimpinan Tim GKI Jogja mengatakan pada saya, “Mereka perlu mendapatkan motivasi dari Pak Kun.” Sharing ini didasarkan kepada Luk. 13:10-17 judulnya aktual dan relevan buat para relawan, “Menegakkan Orang yang Tidak Dapat Berdiri Tegak.” Judul itu tidak dibuat-buat, sebab isi perikop memang tentang penyembuhan seorang perempuan yang sakit bungkuk sehingga tidak dapat berdiri tegak. Setelah disembuhkan Yesus, perempuan itu dapat berdiri tegak. Waktu sakit tak leluasa bicara, waktu sembuh leluasa bicara. Waktu sakit pandangan terbatas, waktu sembuh pandangan luas. Namun kesembuhan atau tegaknya perempuan ini tidak selalu menyenangkan orang. Ada yang protes dan menjadi gusar. Aneh tapi benar, banyak orang tidak suka kalau ada orang lain tegak dan tertolong. Mereka ini adalah orang-orang yang berpegang kepada aturan terlalu kuat, seolah-olah kehidupan manusia hanya bergantung pada aturan, bahkan aturan agama. Padahal mereka sendiri sering tidak berpikir untuk menerapkan aturan yang sama pada diri sendiri. Saya sering bilang, kalau satu saja ayat Injil diterapkan konsisten, maka kehidupan akan berubah dan dibaharui secara spiritual dan secara keseluruhan. Misalnya, perkataan Yesus, “Apa yang kamu mau orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian!” (Mat. 7:12; Luk. 6:31). Bahkan jika memberi orang miskin makan, kata Yesaya, Berilah orang miskin makan dengan apa yang kamu sendiri inginkan (bdk. Yes. 58:10). Melalui lika-liku perenungan reflektif ini, saya menceritakan pengalaman-pengalaman Tim GKI mulai tahun 2004 di Aceh sampai tahun 2010 di Papua dan Mentawai.

Lebih Luhur dari Merawat Manusia

Saya menegaskan apa yang mendasari spiritualitas Tim GKI selama ini. Jika kita memberi makan orang lapar, ketika kita memberi minum orang haus, ketika kita memberi pakaian kepada orang yang tidak punya pakaian, ketika kita membebaskan orang dari perangkap hidup; kata Theresa, kita bukan sedang merawat manusia, melainkan sedang merawat Kristus! itulah berita Injil dalam Mat.25:34-40. Kata Yesus,” sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Kita memang mengerjakan pekerjaan sosial, tapi kita bukan pekerja sosial. Kita adalah pekerja Kristus, yang berbagi kasih tanpa pamrih. Kristus sudah melakukan segalanya bagi kita, bahkan memberi darah dan nyawa-Nya demi keselamatan kita, jadi inilah respon kita kepadanya. Tim GKI sama sekali bukanlah lembaga profesional, tetapi Tim GKI bekerja profesonal seoptimal dan semaksimal mungkin. Di belakang Tim GKI ada dukungan dari 218 jemaat GKI dan 232,749 anggota GKI yang tersebar dari Batam sampai Bali. Itu adalah dukungan yang kuat sebagai anugerah dan kasih karunia Tuhan.

Malam kunjungan diakhiri dengan berfoto-ria dan makan malam bersama, sambil terus melantunkan kidung dan tembang pujian kepada Tuhan yang empunya bumi dan segala isinya.

(Kuntadi)

Report by
Pdt. Kuntadi Sumadikarya –
Tim GKI Sinode GKI

Reflection: Uprighting the People who can't Stand Upright (EDn)


Reflection fro the Volunteers ofTeam GKI Jogjakarta
29 November 2010 GKI Gejayan

“Menegakkan Orang Yang Tidak Dapat Berdiri Tegak” Luke 13:10-17

Pre-reflection:

Allow me to deliver a warm regard from fellow volunteers from GKI Batam until Bali.

In the subsequent disasters of Wasior, Mentawai, and Merapi it was clear that this time the volunteers really put their lifes on the line:

1. In Wasior the constant rain increased the potential of another flood and threatens the lifes of the TGKI volunteers.

2. In Mentawai storm and tidal waves from the Indian Ocean endangers the lifes of TGKI volunteers looking for remote villages.

3. In Merapi eruption and volcanic cloud repeatedly threatens the life of TGKI volunteers.

1st: An Anonymous Woman Who Was Hunched and Cannot Stand Up Straight

The ill women's name was not mentioned, anonymous. Like most refugees of Merapi, also anonymous to the volunteers. Already for 18 years this woman is "sick until she bent her back" with the result of "can not stand upright" anymore. The bearers of feminist theology can certainly assume that this passage gives a firm basis of biblical theology as a foundation for the topic about women and gender[1]. But in general, we can safely say that this humpback female symbolism, represented by the class of people who did not receive love, care and attention, or those who are marginalized and anonymous. Whether they're healthy, sick or dying, present or not in the synagogue, they have absolutely no meaning for everyone there, Only for Jesus they mean something.

The refugees of Merapi certainly met these criteria. Many people pay attention to refugees not because they are refugees, but for the interest and satisfaction of those who assist them. Unless they are serious, in many places the parties that help only comes in the first few days. They just put up tents, each rivet their insignia, even there were many tents with a red cross sign, but without the presence of doctors, nurses or medicine. In one of the Mentawai islands’ west coast there are political parties that put their flag up, waving majestically, with no one who are willing to devote themselves to aid the disaster victims. In Wasior, a few days after the flash floods, came so many parties and volunteers. However, when the water receded most of them had already left. Kompas.com on 16 November 2010 wrote, a month after flash floods, the only volunteers who stayed are just GKI and PMI. 118 Ambulance Foundation reported that up to this day the only functioning health facility in Wasior is the "Humanitarian Movement of Indonesia Emergency Hospital." When so many parties viewed the victims as meaningless, Team GKI is trying its best to regard them as fellow human, friend, and brothers. As Jesus put it, they looked like a hunchback woman who means nothing to anyone except to Him. GKI-Humaniarian viewed helping and giving relief to disaster victims is an act of caring for Christ Himself. In Matthew 25:34-40, Jesus said, who gave food, drink, visit and liberate the poor and suffer from this, actually cared for Jesus himself. Jesus continually demonstrated a firm and clear partiality to the poor, and vice versa towards people who are not poor.

This nameless anonymous female came to the synagogue not asking for any healing. It seems, apart from unable to stand up straight, she also can not speak freely. Perhaps it was desperation after repeatedly failing to ask something from men. This woman was "muted" by the society. It's like the refugees who were promised by the government that their cows will be purchased by the government, but never actually happened, so they sell their cows cheaply. Cannot wait and loosing their spirit, or as tens of thousands of refugees who were are concentrated given food to eat, but have to wait in line for hours so they can eat, the refugees had enough and left the stadium Maguwoharjo.

2nd : Jesus Uprighted the Women who can't Stand Upright

But Jesus called the hunchback woman and announced her recovery and laid His hand. Immediately the woman recovered. Now she can stand upright. Of course now the views of this woman changed in perspective, she can now see wider and further compared to the time she was hunched. The woman was grateful and glorified God for healing and the renewal she experienced. Not only can she stand up straight, but now she can also freely talk. She is no longer muted. Those who experienced divine power as a subject will be filled with gratitude, even if initially they did not ask nor imagine receiving such grace. Conversely those who have experienced divine power as an object can not be grateful just like the nine out of ten blind men healed by Jesus.

Different from the woman, the head of the synagogue became upset. It is quite unclear whether he was upset to Jesus, or the woman, because he said to the crowd. "There are six days for work. Because of it, come on one of those days to be healed and not on the Sabbath." It's like the incident in Mentawai. When Team GKI see so many babies and children lost their parents in the recent tsunami, with the church of Mentawai, GKI-Humaniarian immediately realized the building of an orphanage which will be managed by the Church of Mentawai. However, the action was a little regrettable because GKI did not want to work in coordination. A planned consortium intends to build a comprehensive Mentawai and is putting together a master plan to empower Mentawai. It's like the head of the synagogue, which adhere to the order to the extent that he can no longer see the action to uphold people who can not stand up as a virtue which actually can not be delayed.

The head of the synagogue was not angry because of the healing itself, but because of momentum. This woman has been ill for 18 years, so what's wrong with waiting a couple more days to be cured? Infants and children orphaned in Mentawai already lost their parents, why not wait until the master plan is implemented?

Why should it be done on holy days like the Sabbath and in a holy place like a synagogue? The head of the synagogue is indeed obliged to maintain the discipline of the Sabbath Day, he enforced a discipline that was a given. On other words, he took the Sabbath for granted. He never thought out of the box or made enlightening comparisons for an obsolete doctrine, at least to find out whether God agrees with his opinions or not. The ability to test thegiven” and thetaken for granted” is an invaluable ability to move to the sublime spiritual perspective. Sacred times and holy places do not determine the actions and attitudes that carries God's will. On the other hand the time and places that are not holy and sacred may not always determine the actions and attitudes which are against God's intentions. Abraham at Sodom and Gomorrah, Jonah in Nineveh, Paul in Athens everything is in place and time that is not holy, but they all carry God's intentions.

3rd: Enlightenment for the Many

Finally, it is the time for Jesus to enlighten. He challenged the rigid discipline of the head of the synagogue. Jesus confronts him with a simple comparison. "Don’t you all let your ox or donkey on the Sabbath off their pen and took it to a place a drink?" Of course it was assumed that the head of the synagogue and every person present at the synagogue, never apply the law of the Sabbath on oxen and donkeys. Giving Water to the oxen or donkeys and cattle out, and putting them into their pen, was never thought of as a violation of the Sabbath. So Jesus showed how inconsistent the doctrine was to the leader of the synagogue about the Sabbath law, even how unfair it is the comparison between giving water to the cattle and human healing. In the eyes of Jesus, the woman who can not stand up straight and can not freely speak is as holy as the synagogue or the Sabbath, because she is also a descendant of Abraham. On this woman applies God's great promises to Abraham. Her dignity as a woman is higher than any cows or donkeys; she is much more precious because she is a descendant of God's chosen people.

The enlightenment Jesus did go well. "His entire opponents felt ashamed" and the public "rejoice in all the glorious things that were done by him." Feeling ashamed for one’s own naiveté is a wonderful characteristic. That means that his opponents are aware of their mistakes. Those who can afford "to know shame" and able to recognize the problem yourself, can be fixed. Instead those who are "shameless" and not able to recognize the problems in themselves can never fix his mistake. The enlightenment by Jesus is important, because in other stories about Sabbath, Jesus' opponents were even more eager to kill Jesus? That the public is "glad about all the glorious things that were done by him," is also a good sign that the enlightenment of Jesus had achieved great success.


This passage expresses the Gospel of Jesus about enlightenment in helping people who can not stand upright. May we remain steadfast in doing work for Christ. Amen

KS: Sunday, 28 November 2010




[1] The women in this world can no longer “stand up straight” for centuries even up to this day, for they are living in the men’s world. These women are threatened by men starting from the field of battle to the vicinity of the bedroom. In addition, women are conditioned to be unable to “stand up straight” by the modern culture today, faced with cosmetic surgery, fashion, excessive diets, body modifications, hair modifications. Trafficking has always take women as victims. The unpaid women labour, abused and raped, killed, all are women.

Theological Reflection: Featuring Mbah Maridjan

Dokumen Refleksi Tim GKI
Erupsi Gunung Merapi

Mbah Maridjan

Teladan Pengabdian Tuntas

Mendengar berita tewasnya Mbah Maridjan pada 26 Oktober 2010, terbakar debu panas Merapi, rasanya trenyuh. Saya mengingat pertemuan, percakapan dan guyonan kami di rumah beliau, Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini adalah pertemuan dalam rangka karya Tim GKI menangani korban wedhus gembel[1] Gunung Merapi di tahun 2006. Pertemuan pada tanggal 24 Mei 2006 itu merupakan kesempatan istimewa. Sementara begitu banyak tamu pendatang sudah lama menunggu dan ingin bertemu, diantar oleh teman-teman dari Yogya, saya bersama relawan Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia (Tim GKI), diprioritaskan dan diterima dengan senang hati oleh Mas Maridjan.

Energi

Pria yang sederhana dan berbadan kecil ini ternyata menyimpan energi yang sangat besar. Beliau sanggup secara rutin naik ke puncak Merapi tanpa peralatan atau persiapan fisik secara khusus, sebagaimana biasa dilakukan oleh para pendaki gunung. Jadi tidak terlalu aneh kalau kemudian ia mau menjadi bintang iklan sebuah minuman energi. Semula saya agak menyayangkan mengapa Maridjan yang soliter ini mau ”turun gunung” hanya untuk menjadi bintang iklan. Bukankah hal itu akan menjatuhkan reputasinya sebagai seorang spiritualis tradisional? Mengapa “mencemarkan” diri dengan mencari Mamon secara mencolok? Namun waktu itu terpikir kehidupan sehari-harinya walaupun sangat sederhana, mungkin membutuhkan dana yang lebih besar karena banyaknya tamu ke rumahnya tersebut. Tebakan ini ternyata salah, seperti akan jelas dalam paparan di bawah. Begitu turun gunung Maridjan langsung menjadi selebriti “roso-roso.” Dari semula hanya dikenal di kalangan Keraton dan masyarakat Yogya, khususnya Cangkringan, seketika ia jadi terkenal secara nasional. Seorang spiritual memang tidak perlu menjadi soliter seperti petapa di gunung atau hutan. Prinsip Calvinisme yang tetap dianut oleh GKI justru menekankan “asketisme di tengah dunia” bukan di “asketisme dalam sel biara.”[2] Pemikiran ini ternyata cocok dengan sikap Maridjan, yang merakyat dan bersosialisasi penuh dengan siapapun.

Juru Kunci Gunung Merapi[3]

Maridjan lahir tahun 1927 persis di rumah yang ditinggalinya selama 83 tahun. Rumah itu kini tinggal sisa puing hangus karena terbakar debu panas Merapi, beserta Maridjan di dalamnya. Istriya, Ponirah, sepuluh tahun lebih muda dan menghadiahkannya 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Menurut pemberitaan Kompas mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Sumber lain mengatakan anak-anak Maridjan adalah Mbah Ajungan, Raden Ayu Surjuna, Raden Ayu Murjana, Raden Mas Kumambang. Khususnya Mbah Ajungan menjadi penasihat Presiden Sukarno tahun 1968-1969, kemudian menjadi wali Mangkunagara VIII tahun 1974-1987.

Wikipedia mencatat, pada saat ayahnya, Suraksohargo, menjadi juru kunci Gunung Merapi, Maridjan menjadi wakil ayahnya. Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual Labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi. Sebenarnya sudah sejak tahun 1970 Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Oleh Sultan Hamengku Buwono IX (ayahanda dari Sultan Hamengku Buwono X yang kini bertahta) ia diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo. Pada saat sebagai abdi dalem itulah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi sekalipun diminta turun gunung oleh Sultan. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu semata-mata sebagai wujud tanggungjawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarsa Dalem.

Abdi Dalem

Di dunia ini tidak semua hal dapat dibeli dengan uang. Kalau kelompok orang ini hanya mencari uang, sudah pasti mereka tidak akan menjadi abdi dalem. Gaji abdi dalem sampai hari ini tidak ada yang lebih dari Rp 100.000 per bulan. Maridjan bahkan menerima gaji hanya sebesar Rp 3.710,- dan sejak diangkat menjadi Penewu gajinya naik menjadi Rp 5.600,- Gaji itu biasanya diambilnya tiga bulan sekali supaya gajinya tidak habis untuk ongkos naik bis dari Dukuh Kinahrejo ke Keraton dan kembalinya. Gaji bulanan itu bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok kegemarannya.

Menjadi abdi dalem mesti melalui pembelajaran sekolah. Sekolah Abdi Dalem sudah mulai digelar sejak zaman Hamengku Buwono I di tahun 1757. Bahkan sepanjang dicatat, sejak berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 13 Maret 1755, abdi dalem telah hadir menjadi bagian dari pemerintahan raja-raja Keraton. Sekolah ini diselenggarakan dengan kurikulum berfokus kepada Keraton: filsafat, sejarah, tatakrama, pemerintahan dan diberikan dalam bahasa Jawa Keraton. Pada dasarnya abdi dalem adalah sekumpulan relawan yang mempersembahkan diri dan layanan mereka kepada Keraton dan keluarga besar Keraton. Mereka bertugas mempersiapkan hampir semua keperluan sehari-hari Sri Sultan dan menyelenggarakan upacara tradisional Keraton. Mereka bertugas berdasarkan fungsi pelayanan dan mendapatkan gelar bersesuaian dengan fungsi itu. Urutan kepangkatan abdi dalem dari yang paling bawah dalam struktur pemerintahan dalam Keraton adalah Jajar, Bekel Anem, Bekel Sepuh, Lurah, Kliwon, Wedana, Riya Bupati Anem, Bupati Anem, Bupati, Bupati Kliwon, dan Bupati Nayaka. Tiap tingkat kepangkatan itu ditempuh selama lima tahun. Dalam lingkungan Keraton terdapat sekitar 2.000 abdi dalem. Mereka dibagi menjadi dua kategori, yaitu Abdi Dalem Punakawan dan Abdi Dalem Kaprajan. Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi dalem yang memiliki tugas pokok harian di lingkungan Keraton. Abdi Dalem Kaprajan adalah abdi dalem yang berasal dari dan menjadi pegawai instansi pemerintah, baik yang sudah pensiun maupun yang masih bekerja. Sementara itu Sri Sultan selaku raja tidak memandang abdi dalem dalam hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Abdi dalem dipandangnya sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya. Kita teringat kepada konsep “pimpinan-yang-melayani” yang dianut GKI. Seberapa jauhkah konsep itu mengalir dalam kehidupan para pemimpinnya? Pertanyaan ini mudah dijawab secara klise dan semboyan, tapi sulit dijawab dalam realitas kehidupan. Nyaris selalu ada pembenaran untuk belum tiba ke sikap dan nilai itu.


Keberhasilan sekolah abdi dalem yang terbesar adalah tertanamnya keikhlasan dan kerelaan pengorbanan mereka kepada misi selaku abdi dalem. Orang yang melihat pengabdian mereka sepintas lalu mungkin berpendapat pengabdian yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka. Inilah yang kurang dapat diselami banyak orang. Mereka bukan mencari pangkat dan penghasilan, melainkan mencari makna dan nilai kehidupan. Mereka percaya pengabdian mereka kepada Sultan dan Keraton mendatangkan berkah yang berlimpah. Ketika diwawancarai seorang abdi dalem bercerita sebagai berikut:


"Hidup ini ada nafsu, maka harus bersyukur. Kita tidak merasa tenteram jika tidak bersyukur kepada Tuhan YME. Saya menjadi abdi Keraton hanya dapat uang Rp 3000. Ya tentu saja tidak cukup untuk membiayai anak-anak saya yang jumlahnya empat. Tapi Alhamdulillah anak saya bisa kuliah semua. Alhamdulillah yang paling besar mendapat beasiswa dan sedang belajar di Jepang, sedangkan adiknya menjadi dosen dan adik-adik yang lainnya masih kuliah. Saya mengabdi kepada Keraton hanya mencari berkah dan ketenteraman dengan Gusti Sultan sebagai jalannya. Hidup ini biar tenteram."


Sikap Islami ditampilkan dalam ungkapan di atas, misalnya dengan mengucap Alhamdulillah dan mengharapkan pahala (berkah) dari pengabdian mereka, sebagaimana menjadi doktrin Islam. Namun demikian tak dapat disangkali sikap Kejawen[4] jauh lebih terinternalisasi. Pengabdian mereka bukan eksplisit kepada Allah melainkan kepada Sri Sultan. Pengeramatan kepada tokoh, tradisi, uang, ritual Keraton menunjukkan Islam sudah di-indigenisasi-kan begitu rupa, sehingga pihak Islampun tidak dapat melakukan keberatan kepada “sinkretisme” yang telah berlangsung hampir tiga abad ini. Namun buat kita yang penting diperhatikan bukan soal Islam atau Kejawennya melainkan endapan spiritual yang tersimpan dan memancar dari dalamnya, sebab spiritualitas bersifat lintas-iman, lintas-agama. Di mana komunitas religius berbeda dapat saling memperkaya dan memperdalam spiritualitas masing-masing.



Sikap Maridjan Terhadap Materi


Sebagaimana dijalani

semua abdi dalem, Maridjan hidup dalam kesahajaan. Bahkan lebih dari abdi dalem lain beliau hidup seperti orang yang tidak butuh uang. Umumnya abdi dalem yang digaji rata-rata hanya Rp 3000 setiap bulan selalu menerimanya dengan sukacita. Biasanya uang itu mereka simpan, atau mereka berikan kepada tetangga dengan pesan: “Jangan dibelanjakan!” Mereka percaya, nilai spiritual dari uang yang berasal dari Keraton tersebut dapat menenteramkan mereka. Jadi nilai finansial uang bukan soal bagi mereka. Seorang abdi dalem biasanya mempunyai penghasilan lain. Ada yang menjual tahu, tempe, dawet; ada pula yang mempunyai bisnis dagang bakmi, pabrik tahu atau tempe dan membuka warung makan. Ketika ada panggilan Keraton, dapat dipastikan bisnis mereka mesti diliburkan semua. Mereka selalu bersyukur karena dengan panggilan Keraton dan pengabdiannya di Keraton. Mereka merasa berkecukupan, tidak merasa kurang, karena semua kebutuhan ternyata terpenuhi dan mereka merasa damai, selain bisnis mereka juga lancar.


Maridjan memperlihatkan sikap unik sebagai abdi dalem. Honorariumnya menjadi bintang iklan minuman energi besarnya Rp 150 juta. Maridjan tidak menjadi silau dengan uang sebanyak itu. Seterimanya honor itu, Maridjan segera membagikannya kepada para tetangga. Tentu uang sebanyak itu diberikan tidak dengan pesan supaya disimpan saja, apalagi ini bukan uang yang berasal dari Keraton. Sisa honor untuk dirinya lalu dipakai untuk membangun masjid di dukuhnya. Jika ada bantuan lainnya dari luar, walaupun bantuan itu ditujukan kepada dirinya, Maridjan malah menyerahkannya kepada kepala dusun untuk dibagikan kepada warga desa secara adil dan merata. Bagiannya sendiri tidak lebih dari warga desa lainnya. Keadilan adalah salah satu ciri spiritualitas. Orang tidak dapat menjadi spiritual tanpa memberlakukan keadilan. Tampaknya para abdi dalem seperti Maridjan bukan hidup mencari gaji apalagi mencari penghasilan yang cukup. Dengan penghasilan yang sama sekali tidak mencukupi itu, abdi dalem seperti Maridjan terus mengabdi dan tak kenal henti, sebab abdi dalem tidak pernah kenal pensiun. Mereka semua bertugas sampai akhir hayat di kandung badan. Kita teringat kepada para pendeta zaman dulu yang meskipun sejak semula tahu penghidupannya pas-pasan bahkan kekurangan, tetapi tidak pernah mundur atau mengeluh dan melayani sampai akhir hayatnya. Tulisan ini hendak mengingatkan lagi para pendeta masakini akan sosok panutan baik yang jelas.

Sebagai perbandingan, pendeta zaman dulu merasa aman, karena mereka tahu siapa diri mereka dan apa yang diharapkan dari mereka. Pendeta zaman dulu sangat dihormati dan dipandang bermartabat tinggi. Mereka sangat fokus dan memiliki wibawa spiritual. Ini merupakan nilai lebih pekerjaan pendeta, sebab semua orang yang ditahbis tahu bahwa penghasilan mereka pas-pasan. Pendeta zaman dulu ini memiliki posisi jelas dan terhormat di dalam komunitas. Kehadiran mereka ditunggu, nasihat mereka dianggap serius, perkataan kearifannya dihargai, doanya dipercayai, janjinya dipenuhi.[5]

Bergelimang materi, bagaimanapun juga sedikit atau banyak menghalangi para pengabdi mengabdi dalam kemurnian hati. Itu juga yang seringkali saya tekankan kepada relawan Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia. Relawan yang termotivasi oleh uang, bukanlah relawan. Berbagi kasih Kristus jauh lebih luhur ketimbang uang.


Refleksi Percakapan dengan Maridjan

Perjumpaan dengan Maridjan di rumahnya empat tahun lalu, kami dahului dengan membawakan satu slop rokok merk kegemaran Maridjan. Itu sangat berarti baginya, baik dari segi finansial maupun dari segi empati. Dia menerimanya dengan wajah berbinar-binar dan senyum lebar. Seingat saya Maridjan bercerita tentang doktrin Kejawen mengenai Gunung Merapi. Antara lain katanya, “Gunung Merapi ini adalah ‘mesinnya bumi.’ Kalau Merapi sudah tidak aktif, maka bumi juga berhenti.” Kami tidak dalam posisi untuk membantah doktrinnya itu. Namanya juga tamu dan dia yang tuan rumah. Tamu harus mendengarkan apa yang tuan rumah katakan, bukan sebaliknya. Sebenarnya dengan itu Maridjan sedang bercerita tentang betapa penting panggilannya selaku juru kunci Merapi. Ketika menyebutkan hal itu, tidak terbersit keangkuhan sama sekali. Ini adalah cerita seorang “amatir”[6] yang amat menyintai pekerjaannya serta menganggap pekerjaannya luhur, begitu pula nilai yang terkandung didalamnya. Maridjan dicatat oleh Elizabeth D. Prasetyo, seorang penulis Perancis, berkata-kata dengan rendah hati, “I am a stupid people ... If smart people were given one then they will ask for two. But if you give one to stupid people ... he would be grateful.” (Saya adalah orang bodoh ... Jika orang pintar diberi satu dia akan minta dua. Namun kalau Anda memberi satu kepada orang bodoh ... dia akan bersyukur.”


Maridjan di tahun 2006 itu dengan keyakinan besar mengatakan bahwa Merapi tidak akan mendatangkan bahaya. Oleh sebab itu walaupun pemerintah DIY dan Jawa Tengah serta Basarnas[7] mendorong warga desa mengungsi, Maridjan tidak atau belum mendorong warga untuk mengungsi. Maridjan yakin Merapi tidak berbahaya. Bahkan juga ketika Sri Sultan berharap Maridjan mengungsi, kakek ini juga kurang “menghiraukan.” Ini merupakan dilematika bagi Maridjan. Di satu pihak ia menerima amanat dari Sultan Hamengku Buwono IX, dan kini mendengar amanat berbeda dari Sultan Hamengku Buwono X. Mana yang harus dipilihnya? Maridjan memilih amanat pertama untuk setia kepada panggilannya, apapula ia yakin Merapi tidak berbahaya. Elizabeth mengutip juga kata-kata Maridjan, “I am walking barefoot, but I always protect my head because the head is a respectable part of the human body. Is not head ruled our legs to walk?” (Saya selalu berjalan dengan kaki telanjang, tapi saya melindungi kepala saya, sebab kepala adalah bagian tubuh yang terhormat. Bukankah kepala yang mengatur kaki berjalan?). Maridjan seakan bersimbolisasi juga tentang kepala dan kaki. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengangkat dia menjadi juru kunci adalah ‘kepala,’ yang mengatur juru kunci seperti dirinya yang adalah ‘kaki.’ Dalam masa manapun sang ‘kepala’ mesti dilindungi dan dihormati ketimbang ‘kaki.’ Kaki selalu mesti rela diatur oleh kepala. Bagi Kristiani bedanya ialah Kepala kita adalah Kristus. Seberapa jauh anggota-anggota tubuh rela diatur oleh Sang Kepala? Itu pertanyaan yang mesti dijawab seumur hidup kita.


Di tahun 2006 itu keyakinan Mardijan tepat, walaupun tidak sepenuhnya. Sebab ada juga relawan yang berlindung dalam bunker dilereng Merapi ternyata tewas matang di dalam bunker akibat debu panas yang suhunya mencapai 400-600 derajat Celcius tembus ke dalam bunker. Di tahun 2010 ini, Maridjan memang tidak sesumbar tentang keadaan tidak bahaya, tetapi ia sekali lagi memilih melindungi ‘kepala’ ketimbang ‘kaki.’ Maridjan terbukti ibarat tentara yang DOM (Dead on Mission) atau ibarat orang religius yang tewas sebagai martir. Ia tewas secara ikhlas dan ditemukan sedang bersujud dalam doa.


Tentu ada orang yang berpendapat bahwa kematian Maridjan, yang sebenarnya dapat dihindari, adalah suatu kenaifan, kebodohan atau kekonyolan. Apalagi ada yang mau dan ikut mati bersamanya. Itu adalah teladan yang buruk. Semacam “pendewaan” kepada sosok Mardjan, yang membawa kematian juga pada mereka. Ini adalah pendapat yang absah juga. Sosok Maridjan memang bisa dilihat dari perspektif berbeda. Namun menurut perspektif tulisan ini, kematiannya memancarkan pemahaman keluhuran yang melebihi kelaziman. Teringat kata-kata Yesus, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13). Maridjan dapat kita katakan telah memberikan nyawanya bagi sahabatnya: Merapi yang dicintainya. Mungkin yang ikut mati bersamanya juga memberikan nyawanya bagi seorang sahabat, Maridjan yang mereka cintai juga.

Sewaktu ditanya tentang Merapi, Maridjan menjawab,”Mbah Merapi hanya batuk-batuk.” Merapi mendapatkan perspektif personifikasi seperti manusia. “tapi Mbah Merapi banyak memberi berkah,” katanya lagi. Teringat lagi ucapannya tentang ramainya penggalian batu dan pasir di Merapi. Dikatakannya bahwa Merapi memberikan batuan mineral yang subur bagi tanah pertanian di lereng dan kaki Merapi. Merapi memproduk pasir yang amat banyak. Itu adalah berkah. Namun ia berpesan agar warga desa yang mengambil batu dan pasir sisa lahar Merapi, boleh mengambil sebanyaknya asalkan jangan memakai alat berat. Dia yakin bahwa berkah batu dan pasir Merapi, akan tetap jadi berkah dan tidak akan menjadi kerusakan lingkungan manakala hanya digali secara manual.


Ketika saudara Yusak Ismanto, koordinator Tim GKI, menyerahkan hadiah sebuah radio engkol[8] wajahnya sekali lagi berbinar, Sebab Yusak sudah menyetel siaran gending Jawa sewaktu menyerahkannya. Tentu saja dapat dipastikan setelah empat tahun menunaikan tugasnya radio pemberian Tim GKI itupun turut tewas bersama sang Mbah. Tim GKI juga membangun bak penampungan dan penyaluran air bagi warga desa Krinjing. Air diambil dari sumber mata airnya dan dialirkan melalui pipa-pipa melewati empat jurang, lalu terdistribusi ke rumah-rumah warga desa. Di sumber mata-air, Tim GKI menanamkan sejumlah besar pohon beringin dengan harapan dapat menjadi hutan beringin yang melestarikan sumber air itu. Mungkin kini bak penampungan air itu juga rusak oleh Merapi setelah menunaikan tugasnya seperti Mbah Maridjan.


Penutup

Apa yang dapat kita petik dari sosok Maridjan?

1) Ia setia kepada panggilannya yang berasal dari Keraton (institusi) maupun Allah YME (spiritualitas).

2) Ia memandang luhur pekerjaannya, menyatukan hidup di dalamnya dan tahu di mana tempatnya.

3) Ia memegangi sumpah jabatannya dengan merelakan hidupnya sendiri.

4) Ia tidak melarikan diri dalam kekurangan dan kesulitan, keyakinannya teguh tak tergoyahkan.

5) Ia rajin beribadah, menyintai tempat ibadahnya dan hidup bersahaja.

6) Ia berakar pada budayanya dan tidak pernah melepaskannya.

7) Ia tidak menghamba kepada Mamon, melainkan hidup bebas.

8) Ia melihat (bervisi) dengan jelas apa tujuan hidupnya (bermisi).

9) Ia tidak mengeluh karena kekurangan dan tidak “mengemis-ngemis” untuk hidupnya.

10) Ia sama sekali tidak minta dihormati, tapi komunitas dan masyarakat luas memberinya kehormatan dan penghormatan.


Presented by
Rev. Kuntadi Sumadikarya
Head of GKI Humanitarian/
Moderator of GKI West Java Regional Synod
KS: Minggu, 31 Oktober 2010



[1] Wedhus gembel =kulit biri-biri yang bergulung-gulung. Dipakai sebagai pelesetan penduduk menyebut awan panas Gunung Merapi,

[2] Asketisme = hidup bertarak, berpantang, hidup yang suci.

[3] Juru kunci biasanya adalah penjaga tempat-tempat keramat di Pulau Jawa. Jika sebuah makam adalah makam kerajaan (di Yogyakarta atau Surakarta), maka sang juru kunci diberi nama, status, dan gelar. Di makam Raja-Raja Surakarta dan Yogyakarta; di Imogiri ada dua juru kunci. Yang satu adalah juru kunci Surakarta dan yang satunya adalah juru kunci Yogyakarta. Beberapa gunung di pulau Jawa yang dianggap keramat seperti Gunung Merapi juga memiliki seorang juru kunci.

[4] Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku-bangsa lainnya yang menetap di Jawa. (Wikipedia)

[5] Kuntadi Sumadikarya, Panggilan Pendeta, Misteri dan Ministri Orang yang Ditahbiskan, Dokumen Refleksi 061 BPMSW 2007-2011 GKI Sinwilo Jabar, 14 Mei 2010. Belum diterbitkan.

[6] Amatir berasal dari kata Latin amore = menyintai

[7] Basarnas = Badan SAR Nasional, dibawahi oleh BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

[8] Radio yang tidak mengandalkan listrik atau baterei, melainkan putaran magnet.