Selasa, 30 November 2010

GKI Humanitarian Refugee's Meeting

Update Tim GKI 29-30 November 2010

Kunjungan Kerja Ketua Gerakan Kemanusiaan Indonesia,
Jumpa Pengungsi Tim GKI Jogja

30 November 2010 kunjungan pimpinan Gerakan Kemanusiaan Indonesia, Pdt. Kuntadi Sumadikarya, dilanjutkan dengan mengunjungi Posko-posko Tim GKI Jogja di posko Adisucipto dan posko-posko di Cangkringan.

Para Pengungsi Posko Adisucipto yang Terawat Baik

Di Posko Adisucipto, yang sebenarnya adalah pos GKI Gejayan, ditampung para pengungsi Merapi. Mereka bukan kelompok orang anonim, melainkan orang-orang yang dikenal namanya, dusunnya, keluarganya, kerugiannya. Menurut saya mereka adalah pengungsi yang berbahagia oleh karena mereka dirawat, diasuh dan disantuni dengan baik oleh Tim GKI Jogja. Mereka ditampung di ruang kebaktian yang cukup luas. Di tempat ini, mungkin mereka satu-satunya kelompok pengungsi yang menempati barak pengungsian yang dilengkapi dengan pengatur udara dan televisi. Bahkan sebuah genset siap manakala terjadi mati listrik.

Pada saat puncak krisis, ketika para pengungsi lain prihatin dan kuatir akan ternak mereka, Tim GKI Jogja bukan saja menampung para pengungsi ini, melainkan juga ternak mereka. Jadi Posko Adisucipto merupakan posko yang meriah sekali dengan manusia dan ternak. Untunglah lahannya cukup luas untuk menampung mereka semua. Sesudah Merapi mereda jumlah mereka masih ada 80 jiwa, yang hidup bersama-sama dalam pengungsian ini.

Para pengungsi ini dilayani dengan hati gembira, sehingga perjumpaan antara pengungsi dan kelompok relawan setiap hari terasa sebagai sebuah kekerabatan keluarga besar. Konsep pemberdayaan “dari pengungsi untuk pengungsi” diterapkan. Para pengungsi diikutsertakan dan kemudian mengambil-alih tugas dapur umum. Tim GKI Jogja hanya menyediakan peralatan dan bahan. Solidaritas bukan saja terjadi antara relawan dan pengungsi, atau di antara para pengungsi sendiri, tetapi juga antara pengungsi dan masyarakat sekitar.


Pada hari-hari tertentu, para pengungsi anak-anak dan orangtua mereka dibawa keTaman Gembira Loka untuk melenyapkan kejenuhan. Gembira Loka menggratiskan tiket masuk para pengungsi ini atas permintaan Tim GKI Jogja. Mereka bersukacita, sebab di antara mereka ada yang belum pernah menikmati Gembira Loka seumur hidup mereka. Dengan begitu, bencana menjadi berkat di mana mereka mendapat peluang yang tidak mereka dapatkan jika tak ada bencana. Di sepanjang kegiatan ini, relawan Tim GKI Jogja memfasilitasi, namun beberapa pengungsi memimpin sendiri kelompok mereka. Mereka dengan gembira ikut melayani dan bukan dilayani.

Sehari-hari dapat disaksikan bagaimana para pengungsi menghabiskan waktu dengan pekerjaan produktif tetapi juga dengan bermain. Halaman Posko Adisucipto dapat diubah menjadi lapangan voli sederhana. Ruang dan kamar dapat diubah menjadi tempat lokakarya. Anak-anak diajak memainkan permainan produktif dan belajar berhastakarya.

Ketika saya berkunjung, 30 November 2010, Tim GKI Jogja sedang mempersiapkan keberangkatan mereka ke sebuah desa kerajinan. Para pengrajin di desa tersebut sudah berkomitmen mengajari keterampilan mereka kepada para pengungsi. Dengan demikian para pengungsi yang tidak mempunyai mata-pencaharian lagi dapat beralih menjadi pengrajin. Ini adalah program pemberdayaan pengungsi.

Lintas-Iman

Dengan barak sebaik ini dan fasilitas kehidupan yang serba mencukupi, sebenarnya mudah ada tuduhan bahwa Tim GKI Jogja sedang melakukan kristenisasi,walaupun tidak terbersit sedikitpun niatan seperti itu dalam aktivitas menolong para pengungsi dari Tim GKI. Namun tuduhan semacamitu tidak pernah muncul. Mengapa? Karena secara rutin di posko ini dilakukan doa bersama lintas-iman. Pendeta, ustadz dan kyai berkumpul dan berdoa bersama-sama dengan para pengungsi. Pada Hariraya Idul-Adha, 17 November 2010, dilakukan pemotongan kambing kurban yang kemudian dibagikan kepada para pengungsi. Donasi kambing berlebihan, sehingga ada bagian yang dibagikan juga ke tempat pengungsian lainnya. Siraman rohani Islam dan kegiatan pengajian juga dilakukan di posko ini. Di pihak lain, setiap hari Minggu dilakukan kebaktian Minggu di posko ini bagi para pengungsi yang Kristiani. Jadi hal-hal di atas menegaskan kembali kebijakan Tim GKI, yang membantu tanpa pamrih apapun termasuk soal keagamaan. Pdt. Paulus Lie bercerita dengan gembira bahwa sejak beberapa waktu lalu, Tim GKI Jogja sudah tidak perlu membeli beras lagi bagi posko Adisucipto, karena para donatur dan aparat lokal yang mengetahui kebutuhan posko ini tak segan-segan secara rutin memberikan suplai secukupnya.

Para pengungsi yang siap kembali ke rumah mereka, diantar oleh relawan dan para pengungsi lainnya yang juga sudah menjadi relawan. Rumah mereka dibersihkan dari abu Merapi supaya layak huni. Mereka diijinkan pulang disertai perbekalan yang diberikan oleh Tim GKI Jogja. Tak heran jika sebagai perbandingan, para pengungsi di Maguwoharjo susut dari 120.000 menjadi 9.000 orang karena merasa kurang terurus; di posko Adisucipto pengungsi yang minta ijin pulang hanya dua keluarga. Mereka yang rumahnya hancur total dan tidak dapat dipergunakan lagi, akan mendapatkan shelter dari Tim GKI Jogja. Itupun akan dikerjakan oleh mereka sendiri dengan gambar, panduan, bahan dan peralatan dari Tim GKI Jogja. Ada yang lebih membesarkan hati Tim GKI Jogja. Penduduk Dusun Botokenceng di Bantul, yang dulu pada gempabumi 2006 dibantu Tim GKI Jogja sampai memiliki lagi rumah inti (shelter),kini datang kepada Tim GKI Jogja dan menyatakan kesediaan membantu membangun shelter Tim GKI Jogja bagi para pengungsi Merapi.

Posko Dusun Kiaran - Desa Wukirsari – Cangkringan

Saya tidak dapat mengunjungi semua posko binaan Tim GKI Jogja karena keterbatasan waktu. Namun beruntung dapat mengunjungi posko Kiaran-Wukirsari. Posko ini adalah tempat berkumpul dan berteduh penduduk apabilahari menjelang malam. Siang hari mereka biasa pulang kerumah dan melakukan tugas sehari-hari, tetapi bila malam menjelang tiba, kuatir erupsi terjadi lagi sewaktu mereka tertidur lelap, mereka berkumpul di posko Kiaran-Wukirsari ini.

Seharian itu saya menyaksikan bagaimana relawan Tim GKI Jogja yang adalah para pengungsi sendiri bekerja keras membawa tanki-tanki air @ 2.000 liter ke lima dusun dan menempatkannya di titik-titik strategis yang dapat diakses dengan mudah oleh penduduk. Tanki-tanki inipun di dapatkan tidak dengan membeli, melainkan meminjam dari Dinas PU Jogja yang segera merespon permintaan Tim GKI Jogja. Di Dusun Karanggeneng-Umbulharjo saya menyaksikan penduduk mempersiapkan lokasi dan memasang tanki air yang datang dengan sebuah truk besar di jalan dusun yang sempit. Mereka bergembira sebab jaminan air tersedia untuk segala keperluan kehidupan sehari-hari. Darimana air datang? Tim GKI Jogja tidak mempunyai kebijakan membeli air, melainkan mencarikan mata-air terdekat yang ada dan menyedot air serta membawanya ke tanki-tanki penampungan. Tim GKI Jogja diperlengkapi dengan dua mesin pompa air, satu menyedot dan satu menyemprot. Yang menjadi kesulitan mereka ialah di beberapa lokasi tidak ada listrik, sehingga mesin pompa air tidak dapat berfungsi, kecuali disambung dengan kabel ratusan meter ke sumber listrik terdekat. Armada pengangkut air setiap hari bolak-balik ke titik-titik tanki air di berbagai dusun guna menjamin ketersediaan air bagi penduduk. Hal mana dengan gembira dilakukan oleh para penduduk sendiri sebagai hasil pemberdayaan Tim GKI Jogja.

Di Dusun Srodokan, dekat “mantan” Kali Kuning. Saya sebut “mantan” karena saya menyaksikan Kali Kuning yang sudah lenyap tertutup lahar panas yang bahkan masih panas. Saya juga menyaksikan dusun di kanan dan kiri Kali Kuning yang kini sudah menjadi sungai dan gurun lahar. Pemandangan mengerikan karena terbayang bagaimana peristiwa itu berlangsung. Dalam tempo singkat rumah-rumah, pohon-pohon, perkebunan, dusun-dusun habis tersapu lahar. Saya melihat batu-batu sebesar rumah yang berasal dari erupsi Merapi, bertebaran di lokasi itu. Penduduk bercerita kepada saya bahwa sekalipun batu itu besar-besar tapi tapi jika diketuk akan hancur berhamburan, sebab batu-batu ini sudah “well done” dalam panas Merapi yang mencapai 600 Celcius. Beberapa relawan Tim GKI Jogja menunjuk ke arah gurun lahar dan berkata dengan sedih, “Dulu rumah saya di situ.”

Saya sempat jumpa dengan para penduduk yang sudah kembali dari pengungsian. Mereka bercerita bagaimana kebun salak mereka hancur. Padahal dusun ini dikenal sebagai penghasil Salak Pondoh yang terkenal dan mahal. Saya melihat bagaimana pohon kelapa dan pohon durian sekalipun masih berdiri, tetapi baik akarnya maupun batang dan buahnya sudah hangus. Pohon-pohon cabai kelihatan utuh namun cabainya sendirisdh hangus pula. Mata-pencaharian perkebunan dari penduduk di sini telah lenyap. Jika mereka tidak ditolong sudah dapat dipastikan mereka tidak dapat memulihkan sendiri kehidupan normal mereka. Pemerintah yang peduli, efektif dan efisien adalah tumpuan harapan mereka. Beban macam ini tidak dapat dipikulkan ke bahu Tim GKI, apalagi keseluruhannya.

(Kuntadi)

Report by
Pdt. Kuntadi Sumadikarya –
Head of GKI Humanitarian

KS: Rabu, 08 Desember 2010

Tidak ada komentar: