Selasa, 30 November 2010

Theological Reflection: Featuring Mbah Maridjan

Dokumen Refleksi Tim GKI
Erupsi Gunung Merapi

Mbah Maridjan

Teladan Pengabdian Tuntas

Mendengar berita tewasnya Mbah Maridjan pada 26 Oktober 2010, terbakar debu panas Merapi, rasanya trenyuh. Saya mengingat pertemuan, percakapan dan guyonan kami di rumah beliau, Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini adalah pertemuan dalam rangka karya Tim GKI menangani korban wedhus gembel[1] Gunung Merapi di tahun 2006. Pertemuan pada tanggal 24 Mei 2006 itu merupakan kesempatan istimewa. Sementara begitu banyak tamu pendatang sudah lama menunggu dan ingin bertemu, diantar oleh teman-teman dari Yogya, saya bersama relawan Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia (Tim GKI), diprioritaskan dan diterima dengan senang hati oleh Mas Maridjan.

Energi

Pria yang sederhana dan berbadan kecil ini ternyata menyimpan energi yang sangat besar. Beliau sanggup secara rutin naik ke puncak Merapi tanpa peralatan atau persiapan fisik secara khusus, sebagaimana biasa dilakukan oleh para pendaki gunung. Jadi tidak terlalu aneh kalau kemudian ia mau menjadi bintang iklan sebuah minuman energi. Semula saya agak menyayangkan mengapa Maridjan yang soliter ini mau ”turun gunung” hanya untuk menjadi bintang iklan. Bukankah hal itu akan menjatuhkan reputasinya sebagai seorang spiritualis tradisional? Mengapa “mencemarkan” diri dengan mencari Mamon secara mencolok? Namun waktu itu terpikir kehidupan sehari-harinya walaupun sangat sederhana, mungkin membutuhkan dana yang lebih besar karena banyaknya tamu ke rumahnya tersebut. Tebakan ini ternyata salah, seperti akan jelas dalam paparan di bawah. Begitu turun gunung Maridjan langsung menjadi selebriti “roso-roso.” Dari semula hanya dikenal di kalangan Keraton dan masyarakat Yogya, khususnya Cangkringan, seketika ia jadi terkenal secara nasional. Seorang spiritual memang tidak perlu menjadi soliter seperti petapa di gunung atau hutan. Prinsip Calvinisme yang tetap dianut oleh GKI justru menekankan “asketisme di tengah dunia” bukan di “asketisme dalam sel biara.”[2] Pemikiran ini ternyata cocok dengan sikap Maridjan, yang merakyat dan bersosialisasi penuh dengan siapapun.

Juru Kunci Gunung Merapi[3]

Maridjan lahir tahun 1927 persis di rumah yang ditinggalinya selama 83 tahun. Rumah itu kini tinggal sisa puing hangus karena terbakar debu panas Merapi, beserta Maridjan di dalamnya. Istriya, Ponirah, sepuluh tahun lebih muda dan menghadiahkannya 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Menurut pemberitaan Kompas mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Sumber lain mengatakan anak-anak Maridjan adalah Mbah Ajungan, Raden Ayu Surjuna, Raden Ayu Murjana, Raden Mas Kumambang. Khususnya Mbah Ajungan menjadi penasihat Presiden Sukarno tahun 1968-1969, kemudian menjadi wali Mangkunagara VIII tahun 1974-1987.

Wikipedia mencatat, pada saat ayahnya, Suraksohargo, menjadi juru kunci Gunung Merapi, Maridjan menjadi wakil ayahnya. Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual Labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi. Sebenarnya sudah sejak tahun 1970 Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Oleh Sultan Hamengku Buwono IX (ayahanda dari Sultan Hamengku Buwono X yang kini bertahta) ia diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo. Pada saat sebagai abdi dalem itulah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi sekalipun diminta turun gunung oleh Sultan. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu semata-mata sebagai wujud tanggungjawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarsa Dalem.

Abdi Dalem

Di dunia ini tidak semua hal dapat dibeli dengan uang. Kalau kelompok orang ini hanya mencari uang, sudah pasti mereka tidak akan menjadi abdi dalem. Gaji abdi dalem sampai hari ini tidak ada yang lebih dari Rp 100.000 per bulan. Maridjan bahkan menerima gaji hanya sebesar Rp 3.710,- dan sejak diangkat menjadi Penewu gajinya naik menjadi Rp 5.600,- Gaji itu biasanya diambilnya tiga bulan sekali supaya gajinya tidak habis untuk ongkos naik bis dari Dukuh Kinahrejo ke Keraton dan kembalinya. Gaji bulanan itu bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok kegemarannya.

Menjadi abdi dalem mesti melalui pembelajaran sekolah. Sekolah Abdi Dalem sudah mulai digelar sejak zaman Hamengku Buwono I di tahun 1757. Bahkan sepanjang dicatat, sejak berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 13 Maret 1755, abdi dalem telah hadir menjadi bagian dari pemerintahan raja-raja Keraton. Sekolah ini diselenggarakan dengan kurikulum berfokus kepada Keraton: filsafat, sejarah, tatakrama, pemerintahan dan diberikan dalam bahasa Jawa Keraton. Pada dasarnya abdi dalem adalah sekumpulan relawan yang mempersembahkan diri dan layanan mereka kepada Keraton dan keluarga besar Keraton. Mereka bertugas mempersiapkan hampir semua keperluan sehari-hari Sri Sultan dan menyelenggarakan upacara tradisional Keraton. Mereka bertugas berdasarkan fungsi pelayanan dan mendapatkan gelar bersesuaian dengan fungsi itu. Urutan kepangkatan abdi dalem dari yang paling bawah dalam struktur pemerintahan dalam Keraton adalah Jajar, Bekel Anem, Bekel Sepuh, Lurah, Kliwon, Wedana, Riya Bupati Anem, Bupati Anem, Bupati, Bupati Kliwon, dan Bupati Nayaka. Tiap tingkat kepangkatan itu ditempuh selama lima tahun. Dalam lingkungan Keraton terdapat sekitar 2.000 abdi dalem. Mereka dibagi menjadi dua kategori, yaitu Abdi Dalem Punakawan dan Abdi Dalem Kaprajan. Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi dalem yang memiliki tugas pokok harian di lingkungan Keraton. Abdi Dalem Kaprajan adalah abdi dalem yang berasal dari dan menjadi pegawai instansi pemerintah, baik yang sudah pensiun maupun yang masih bekerja. Sementara itu Sri Sultan selaku raja tidak memandang abdi dalem dalam hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Abdi dalem dipandangnya sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya. Kita teringat kepada konsep “pimpinan-yang-melayani” yang dianut GKI. Seberapa jauhkah konsep itu mengalir dalam kehidupan para pemimpinnya? Pertanyaan ini mudah dijawab secara klise dan semboyan, tapi sulit dijawab dalam realitas kehidupan. Nyaris selalu ada pembenaran untuk belum tiba ke sikap dan nilai itu.


Keberhasilan sekolah abdi dalem yang terbesar adalah tertanamnya keikhlasan dan kerelaan pengorbanan mereka kepada misi selaku abdi dalem. Orang yang melihat pengabdian mereka sepintas lalu mungkin berpendapat pengabdian yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka. Inilah yang kurang dapat diselami banyak orang. Mereka bukan mencari pangkat dan penghasilan, melainkan mencari makna dan nilai kehidupan. Mereka percaya pengabdian mereka kepada Sultan dan Keraton mendatangkan berkah yang berlimpah. Ketika diwawancarai seorang abdi dalem bercerita sebagai berikut:


"Hidup ini ada nafsu, maka harus bersyukur. Kita tidak merasa tenteram jika tidak bersyukur kepada Tuhan YME. Saya menjadi abdi Keraton hanya dapat uang Rp 3000. Ya tentu saja tidak cukup untuk membiayai anak-anak saya yang jumlahnya empat. Tapi Alhamdulillah anak saya bisa kuliah semua. Alhamdulillah yang paling besar mendapat beasiswa dan sedang belajar di Jepang, sedangkan adiknya menjadi dosen dan adik-adik yang lainnya masih kuliah. Saya mengabdi kepada Keraton hanya mencari berkah dan ketenteraman dengan Gusti Sultan sebagai jalannya. Hidup ini biar tenteram."


Sikap Islami ditampilkan dalam ungkapan di atas, misalnya dengan mengucap Alhamdulillah dan mengharapkan pahala (berkah) dari pengabdian mereka, sebagaimana menjadi doktrin Islam. Namun demikian tak dapat disangkali sikap Kejawen[4] jauh lebih terinternalisasi. Pengabdian mereka bukan eksplisit kepada Allah melainkan kepada Sri Sultan. Pengeramatan kepada tokoh, tradisi, uang, ritual Keraton menunjukkan Islam sudah di-indigenisasi-kan begitu rupa, sehingga pihak Islampun tidak dapat melakukan keberatan kepada “sinkretisme” yang telah berlangsung hampir tiga abad ini. Namun buat kita yang penting diperhatikan bukan soal Islam atau Kejawennya melainkan endapan spiritual yang tersimpan dan memancar dari dalamnya, sebab spiritualitas bersifat lintas-iman, lintas-agama. Di mana komunitas religius berbeda dapat saling memperkaya dan memperdalam spiritualitas masing-masing.



Sikap Maridjan Terhadap Materi


Sebagaimana dijalani

semua abdi dalem, Maridjan hidup dalam kesahajaan. Bahkan lebih dari abdi dalem lain beliau hidup seperti orang yang tidak butuh uang. Umumnya abdi dalem yang digaji rata-rata hanya Rp 3000 setiap bulan selalu menerimanya dengan sukacita. Biasanya uang itu mereka simpan, atau mereka berikan kepada tetangga dengan pesan: “Jangan dibelanjakan!” Mereka percaya, nilai spiritual dari uang yang berasal dari Keraton tersebut dapat menenteramkan mereka. Jadi nilai finansial uang bukan soal bagi mereka. Seorang abdi dalem biasanya mempunyai penghasilan lain. Ada yang menjual tahu, tempe, dawet; ada pula yang mempunyai bisnis dagang bakmi, pabrik tahu atau tempe dan membuka warung makan. Ketika ada panggilan Keraton, dapat dipastikan bisnis mereka mesti diliburkan semua. Mereka selalu bersyukur karena dengan panggilan Keraton dan pengabdiannya di Keraton. Mereka merasa berkecukupan, tidak merasa kurang, karena semua kebutuhan ternyata terpenuhi dan mereka merasa damai, selain bisnis mereka juga lancar.


Maridjan memperlihatkan sikap unik sebagai abdi dalem. Honorariumnya menjadi bintang iklan minuman energi besarnya Rp 150 juta. Maridjan tidak menjadi silau dengan uang sebanyak itu. Seterimanya honor itu, Maridjan segera membagikannya kepada para tetangga. Tentu uang sebanyak itu diberikan tidak dengan pesan supaya disimpan saja, apalagi ini bukan uang yang berasal dari Keraton. Sisa honor untuk dirinya lalu dipakai untuk membangun masjid di dukuhnya. Jika ada bantuan lainnya dari luar, walaupun bantuan itu ditujukan kepada dirinya, Maridjan malah menyerahkannya kepada kepala dusun untuk dibagikan kepada warga desa secara adil dan merata. Bagiannya sendiri tidak lebih dari warga desa lainnya. Keadilan adalah salah satu ciri spiritualitas. Orang tidak dapat menjadi spiritual tanpa memberlakukan keadilan. Tampaknya para abdi dalem seperti Maridjan bukan hidup mencari gaji apalagi mencari penghasilan yang cukup. Dengan penghasilan yang sama sekali tidak mencukupi itu, abdi dalem seperti Maridjan terus mengabdi dan tak kenal henti, sebab abdi dalem tidak pernah kenal pensiun. Mereka semua bertugas sampai akhir hayat di kandung badan. Kita teringat kepada para pendeta zaman dulu yang meskipun sejak semula tahu penghidupannya pas-pasan bahkan kekurangan, tetapi tidak pernah mundur atau mengeluh dan melayani sampai akhir hayatnya. Tulisan ini hendak mengingatkan lagi para pendeta masakini akan sosok panutan baik yang jelas.

Sebagai perbandingan, pendeta zaman dulu merasa aman, karena mereka tahu siapa diri mereka dan apa yang diharapkan dari mereka. Pendeta zaman dulu sangat dihormati dan dipandang bermartabat tinggi. Mereka sangat fokus dan memiliki wibawa spiritual. Ini merupakan nilai lebih pekerjaan pendeta, sebab semua orang yang ditahbis tahu bahwa penghasilan mereka pas-pasan. Pendeta zaman dulu ini memiliki posisi jelas dan terhormat di dalam komunitas. Kehadiran mereka ditunggu, nasihat mereka dianggap serius, perkataan kearifannya dihargai, doanya dipercayai, janjinya dipenuhi.[5]

Bergelimang materi, bagaimanapun juga sedikit atau banyak menghalangi para pengabdi mengabdi dalam kemurnian hati. Itu juga yang seringkali saya tekankan kepada relawan Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia. Relawan yang termotivasi oleh uang, bukanlah relawan. Berbagi kasih Kristus jauh lebih luhur ketimbang uang.


Refleksi Percakapan dengan Maridjan

Perjumpaan dengan Maridjan di rumahnya empat tahun lalu, kami dahului dengan membawakan satu slop rokok merk kegemaran Maridjan. Itu sangat berarti baginya, baik dari segi finansial maupun dari segi empati. Dia menerimanya dengan wajah berbinar-binar dan senyum lebar. Seingat saya Maridjan bercerita tentang doktrin Kejawen mengenai Gunung Merapi. Antara lain katanya, “Gunung Merapi ini adalah ‘mesinnya bumi.’ Kalau Merapi sudah tidak aktif, maka bumi juga berhenti.” Kami tidak dalam posisi untuk membantah doktrinnya itu. Namanya juga tamu dan dia yang tuan rumah. Tamu harus mendengarkan apa yang tuan rumah katakan, bukan sebaliknya. Sebenarnya dengan itu Maridjan sedang bercerita tentang betapa penting panggilannya selaku juru kunci Merapi. Ketika menyebutkan hal itu, tidak terbersit keangkuhan sama sekali. Ini adalah cerita seorang “amatir”[6] yang amat menyintai pekerjaannya serta menganggap pekerjaannya luhur, begitu pula nilai yang terkandung didalamnya. Maridjan dicatat oleh Elizabeth D. Prasetyo, seorang penulis Perancis, berkata-kata dengan rendah hati, “I am a stupid people ... If smart people were given one then they will ask for two. But if you give one to stupid people ... he would be grateful.” (Saya adalah orang bodoh ... Jika orang pintar diberi satu dia akan minta dua. Namun kalau Anda memberi satu kepada orang bodoh ... dia akan bersyukur.”


Maridjan di tahun 2006 itu dengan keyakinan besar mengatakan bahwa Merapi tidak akan mendatangkan bahaya. Oleh sebab itu walaupun pemerintah DIY dan Jawa Tengah serta Basarnas[7] mendorong warga desa mengungsi, Maridjan tidak atau belum mendorong warga untuk mengungsi. Maridjan yakin Merapi tidak berbahaya. Bahkan juga ketika Sri Sultan berharap Maridjan mengungsi, kakek ini juga kurang “menghiraukan.” Ini merupakan dilematika bagi Maridjan. Di satu pihak ia menerima amanat dari Sultan Hamengku Buwono IX, dan kini mendengar amanat berbeda dari Sultan Hamengku Buwono X. Mana yang harus dipilihnya? Maridjan memilih amanat pertama untuk setia kepada panggilannya, apapula ia yakin Merapi tidak berbahaya. Elizabeth mengutip juga kata-kata Maridjan, “I am walking barefoot, but I always protect my head because the head is a respectable part of the human body. Is not head ruled our legs to walk?” (Saya selalu berjalan dengan kaki telanjang, tapi saya melindungi kepala saya, sebab kepala adalah bagian tubuh yang terhormat. Bukankah kepala yang mengatur kaki berjalan?). Maridjan seakan bersimbolisasi juga tentang kepala dan kaki. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengangkat dia menjadi juru kunci adalah ‘kepala,’ yang mengatur juru kunci seperti dirinya yang adalah ‘kaki.’ Dalam masa manapun sang ‘kepala’ mesti dilindungi dan dihormati ketimbang ‘kaki.’ Kaki selalu mesti rela diatur oleh kepala. Bagi Kristiani bedanya ialah Kepala kita adalah Kristus. Seberapa jauh anggota-anggota tubuh rela diatur oleh Sang Kepala? Itu pertanyaan yang mesti dijawab seumur hidup kita.


Di tahun 2006 itu keyakinan Mardijan tepat, walaupun tidak sepenuhnya. Sebab ada juga relawan yang berlindung dalam bunker dilereng Merapi ternyata tewas matang di dalam bunker akibat debu panas yang suhunya mencapai 400-600 derajat Celcius tembus ke dalam bunker. Di tahun 2010 ini, Maridjan memang tidak sesumbar tentang keadaan tidak bahaya, tetapi ia sekali lagi memilih melindungi ‘kepala’ ketimbang ‘kaki.’ Maridjan terbukti ibarat tentara yang DOM (Dead on Mission) atau ibarat orang religius yang tewas sebagai martir. Ia tewas secara ikhlas dan ditemukan sedang bersujud dalam doa.


Tentu ada orang yang berpendapat bahwa kematian Maridjan, yang sebenarnya dapat dihindari, adalah suatu kenaifan, kebodohan atau kekonyolan. Apalagi ada yang mau dan ikut mati bersamanya. Itu adalah teladan yang buruk. Semacam “pendewaan” kepada sosok Mardjan, yang membawa kematian juga pada mereka. Ini adalah pendapat yang absah juga. Sosok Maridjan memang bisa dilihat dari perspektif berbeda. Namun menurut perspektif tulisan ini, kematiannya memancarkan pemahaman keluhuran yang melebihi kelaziman. Teringat kata-kata Yesus, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13). Maridjan dapat kita katakan telah memberikan nyawanya bagi sahabatnya: Merapi yang dicintainya. Mungkin yang ikut mati bersamanya juga memberikan nyawanya bagi seorang sahabat, Maridjan yang mereka cintai juga.

Sewaktu ditanya tentang Merapi, Maridjan menjawab,”Mbah Merapi hanya batuk-batuk.” Merapi mendapatkan perspektif personifikasi seperti manusia. “tapi Mbah Merapi banyak memberi berkah,” katanya lagi. Teringat lagi ucapannya tentang ramainya penggalian batu dan pasir di Merapi. Dikatakannya bahwa Merapi memberikan batuan mineral yang subur bagi tanah pertanian di lereng dan kaki Merapi. Merapi memproduk pasir yang amat banyak. Itu adalah berkah. Namun ia berpesan agar warga desa yang mengambil batu dan pasir sisa lahar Merapi, boleh mengambil sebanyaknya asalkan jangan memakai alat berat. Dia yakin bahwa berkah batu dan pasir Merapi, akan tetap jadi berkah dan tidak akan menjadi kerusakan lingkungan manakala hanya digali secara manual.


Ketika saudara Yusak Ismanto, koordinator Tim GKI, menyerahkan hadiah sebuah radio engkol[8] wajahnya sekali lagi berbinar, Sebab Yusak sudah menyetel siaran gending Jawa sewaktu menyerahkannya. Tentu saja dapat dipastikan setelah empat tahun menunaikan tugasnya radio pemberian Tim GKI itupun turut tewas bersama sang Mbah. Tim GKI juga membangun bak penampungan dan penyaluran air bagi warga desa Krinjing. Air diambil dari sumber mata airnya dan dialirkan melalui pipa-pipa melewati empat jurang, lalu terdistribusi ke rumah-rumah warga desa. Di sumber mata-air, Tim GKI menanamkan sejumlah besar pohon beringin dengan harapan dapat menjadi hutan beringin yang melestarikan sumber air itu. Mungkin kini bak penampungan air itu juga rusak oleh Merapi setelah menunaikan tugasnya seperti Mbah Maridjan.


Penutup

Apa yang dapat kita petik dari sosok Maridjan?

1) Ia setia kepada panggilannya yang berasal dari Keraton (institusi) maupun Allah YME (spiritualitas).

2) Ia memandang luhur pekerjaannya, menyatukan hidup di dalamnya dan tahu di mana tempatnya.

3) Ia memegangi sumpah jabatannya dengan merelakan hidupnya sendiri.

4) Ia tidak melarikan diri dalam kekurangan dan kesulitan, keyakinannya teguh tak tergoyahkan.

5) Ia rajin beribadah, menyintai tempat ibadahnya dan hidup bersahaja.

6) Ia berakar pada budayanya dan tidak pernah melepaskannya.

7) Ia tidak menghamba kepada Mamon, melainkan hidup bebas.

8) Ia melihat (bervisi) dengan jelas apa tujuan hidupnya (bermisi).

9) Ia tidak mengeluh karena kekurangan dan tidak “mengemis-ngemis” untuk hidupnya.

10) Ia sama sekali tidak minta dihormati, tapi komunitas dan masyarakat luas memberinya kehormatan dan penghormatan.


Presented by
Rev. Kuntadi Sumadikarya
Head of GKI Humanitarian/
Moderator of GKI West Java Regional Synod
KS: Minggu, 31 Oktober 2010



[1] Wedhus gembel =kulit biri-biri yang bergulung-gulung. Dipakai sebagai pelesetan penduduk menyebut awan panas Gunung Merapi,

[2] Asketisme = hidup bertarak, berpantang, hidup yang suci.

[3] Juru kunci biasanya adalah penjaga tempat-tempat keramat di Pulau Jawa. Jika sebuah makam adalah makam kerajaan (di Yogyakarta atau Surakarta), maka sang juru kunci diberi nama, status, dan gelar. Di makam Raja-Raja Surakarta dan Yogyakarta; di Imogiri ada dua juru kunci. Yang satu adalah juru kunci Surakarta dan yang satunya adalah juru kunci Yogyakarta. Beberapa gunung di pulau Jawa yang dianggap keramat seperti Gunung Merapi juga memiliki seorang juru kunci.

[4] Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku-bangsa lainnya yang menetap di Jawa. (Wikipedia)

[5] Kuntadi Sumadikarya, Panggilan Pendeta, Misteri dan Ministri Orang yang Ditahbiskan, Dokumen Refleksi 061 BPMSW 2007-2011 GKI Sinwilo Jabar, 14 Mei 2010. Belum diterbitkan.

[6] Amatir berasal dari kata Latin amore = menyintai

[7] Basarnas = Badan SAR Nasional, dibawahi oleh BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

[8] Radio yang tidak mengandalkan listrik atau baterei, melainkan putaran magnet.

Tidak ada komentar: